Ogoh Ogoh Di Banjar Tuka

Sarana Mempererat Kerukunan Hidup Bersama

*pnw

3/11/20245 min read

Tuka menjadi salah satu banjar di Desa Dalung yang menyelenggarakan pawai ogoh-ogoh menjelang Nyepi tahun Caka 1946. Tampak beberapa anak muda Katolik terlibat memikul ogoh-ogoh dan membunyikan Baleganjur. Sebelumnya dilaksanakan kegiatan mecaru oleh umat Hindu, ogoh-ogoh diarak mengelilingi desa Tuka pada senja hari. Mulai dari Catuspatha (perempatan tugu), arakan ogoh-ogoh bergerak menuju ke Timur, yakni wilayah Embong dan Batu Lumbung. Arakan kembali ke Catuspatha dan lanjut ke arah Selatan menuju Seminari Tuka, lalu kembali ke arah Utara, wilayah Buduk, yang kemudian berakhir di Gereja Padang Tawang di arah barat.

Catuspatha mempunyai arti dan makna yang penting, sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Bali. Dalam konsep yang lebih luas, Catuspatha menjadi pusat kehidupan yang dikitari oleh puri (istana), wantilan (ruang terbuka) alun-alun (lapangan) dan peken (pasar). Hal ini bisa dilihat di Kota Denpasar. Namun bagi masyarakat di Tuka, Catuspatha menjadi ruang publik, pusat desa dan sekaligus menjadi ruang kerukunan umat. Ada patung besar yang dibuat di tengah. Hanya sayang ruang ini terlalu menyita jalan sehingga agak mengganggu lalu lintas, khususnya kendaraan besar. Namun demikian perempatan ini telah menjadi ruang terbuka untuk pertemuan masyarakat dalam keberagaman untuk selalu waspada dan hati-hati terhadap keselamatan sesama sehingga juga menjadi ruang perdamaian. Maka sangat tepat kalau ritual ogoh-ogoh untuk umat Hindu dimulai di tempat ini.

Di sisi yang lain Tuka menjadi unik karena Banjar Tuka menjadi sebuah ruang anomali (sedikit menyimpang dari tradisi) di mana sebagian besar warganya justru memeluk agama Katolik. Bali sendiri dengan desa-desanya yang ada di Kabupaten Badung selalu terdiri dari sebagian besar umat Hindu. Sejarah kekatolikan dimulai pada tahun 1936 ketika seorang misionaris diundang datang dan mulai melaksanakan karya pelayanan untuk sebagian umat yang telah mengenal Kristus (Kristen). Hanya saja mereka belum masuk dalam agama Katolik. Pastor J. Kersten, SVD sebagai misionaris awal dari Serikat Sabda Allah (SVD) bersama I Made Bronong dan I Wayan Diblog (orang Tuka) mulai memberi jalan dan kemudian didirikan sebuah bangunan gereja tempat umat berkumpul dan berdoa pada 14 Februari 1937.

Peristiwa ini menjadi peristiwa bersejarah dan menjadi awal pertumbuhan umat Katolik di Tuka, di wilayah Desa Dalung yang kini umatnya sudah mencapai 2.300 jiwa menyebar di dua desa (Dalung dan Buduk). Dalam jumlah angka (sesuai data dari Desa Dalung), penduduk Tuka sendiri berjumlah 1.192 yang terdiri dari 292 KK (Katolik 247 KK dan Hindu 45 KK). Walaupun terdiri dari 292 KK namun Tuka merupakan sebuah Desa Adat yang mempunyai Pura Khayangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem). Di wilayah ini juga ada beberapa pura ibu, baik yang ada di Utara maupun Selatan desa. Mereka juga memiliki wantilan (balai banjar) yang dipakai dalam kebersamaan.

GEREJA KATOLIK TRI TUNGGAL

Save SMALL on our BIG church!

Dalam keberagaman dan perbedaan keyakinan ini, masyarakat Banjar Tuka (dalam kedinasan) sudah selalu dididik untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Para orang tua atau yang sudah lebih dahulu mengenal Tuka selalu mengingatkan akan hubungan persaudaraan yang bersifat tali temali , saling berhubungan satu sama lain sebagai keluarga (nyama misan atau mindon). Hubungan kekerabatan ini membuat mereka selalu menghidupi pesuka dukan baik dalam perkawinan maupun dalam kematian.

Kehadiran sekolah dan juga panti asuhan di Tuka menjadi ruang terbuka membangun dan membina kerukunan. Panti Asuhan Sidhi Astu Tuka ini menampung kurang lebih 90 anak (52 di dalam dan 38 di luar panti) dalam keberagaman agama. Mereka diajarkan untuk saling menghargai satu sama lain. Demikian juga kehadiran sekolah Katolik baik di Taman Kanak-Kanak maupun Sekolah Dasar menjadi tempat pembelajaran toleransi dan kerukunan. Dalam kesempatan perayaan keagamaan mereka diajarkan untuk berpartisipasi di dalamnya termasuk dalam perarakan ogoh-ogoh yang dimulai dari sekolah masing-masing. Penanaman nilai kerukunan ini tentu penting untuk masa depan yang lebih baik dalam membangun kebersamaan di wilayah Dalung dan di banjar Tuka khususnya.

Juga dalam mengerjakan ogoh-ogoh, beberapa pemuda dan pemudi Katolik (truna-truni) ikut membantu teman-teman mereka. Dari sini mereka dapat belajar bahwa kebersamaan dan kehidupan masyarakat itu sangat penting. Sikap saling membantu dan meringankan beban kehidupan diajarkan sejak awal sehingga mempersiapkan mereka untuk menjadi seorang pemimpin yang bisa menghargai keberagaman. Tidak cukup hanya sampai pada pembuatan ogoh-ogoh, mereka juga ikut mengarak ogoh-ogoh, mulai dari perempatan jalan (Catuspatha). Mereka melakukan dengan semangat dan. Penuh sukacita, apalagi mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Sekalipun hujan gerimis, tidak menyurutkan semangat mereka untuk menyelesaikan seluruh rangkaian perarakan untuk segala penjuru arah mata angin yang akhirnya berhenti di Setra (kuburan)

Bapak Bendesa adat, I Gede Sukarya, tampak begitu senang karena keterlibatan umat Katolik. Tampak juga Suster dan karyawan panti ikut menyaksikan perarakan ogoh-ogoh ini. Bapak Bendesa mengucapkan terima kasih karena dukungan yang diberikan oleh Umat Katolik di Tuka. Menurut beberapa tokoh umat yang sempat ditanya dalam pawai ogoh-ogoh ini mengatakan bahwa peristiwa ini menjadi sarana penting untuk menjaga toleransi dan kerukunan hidup bersama dalam keberagaman. Ogoh-ogoh tidak hanya bersifat eksklusif (tertutup) tetapi inklusif (terbuka) untuk membangun persaudaraan lintas agama. Jadi, ogoh-ogoh juga adalah aksi kemasyarakatan yang perlu dipahami oleh semua pihak. Namun demikian ogoh-ogoh juga adalah bagian penting dari ritual keagamaan yang bermakna terhadap kekuatan roh jahat yang ada di wilayah banjar atau desa.

Dengan selesainya acara ogoh-ogoh, umat Hindu khususnya, memasuki masa hening untuk pulang kembali ke rumah. Besoknya mereka akan merayakan Hari Raya Nyepi tahun caka 1946. Mereka pulang kembali ke rumah masing-masing yang juga berarti pulang ke dalam diri mereka masing-masing. Umat Hindu menyadari bahwa hidup manusia tidak lepas dari sadripu yakni 6 musuh yang harus diwaspadai dan hadapi. Manusia yang lemah ini harus mampu mengendalikan sifat loba, rakus, iri hati, marah, dendam dan suka bersenang senang. Kiranya ritual ogoh-ogoh menjelang Hari Raya Nyepi yang dilaksanakan oleh Umat Hindu dan melibatkan Umat Katolik di Tuka ini menjadi contoh dalam membangun kehidupan bersama yang rukun, toleran dan terbuka.